Oleh: Tirta N. Mursitama, PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Plt. Ketua Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
Tiada terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara akan memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan lagi, MEAS akan efektif 1 Januari 2016.
Namun hingga kini tidak terlihat jelas bagaimana Indonesia secara khusus mempersiapkan diri. Hal yang terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis menghadapinya demikian pula masyarakat.
Geliat semangat menyongsong MEA secara hakiki itu tidak hadir dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA 2015. Bila demikian, apakah menjadi sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi negara di Axia Tenggara dan negara lain di kawasan yang lain?
Pertanyaaan retoris ini semestinya tidak membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna. Sebagai sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong oleh negara (state-led process) ini sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya memenuhi kebutuhan penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri sepertinya sudah kewalahan.
Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa, langkah apa yang harus dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah dikerjakan kepada seluruh pemangku kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa yang harus dilakukan agar kita tidak sekedar sumpah serapah yang keluar dari para pemangku kepentingan yang tiada guna.
Regionalisasi
Dalam khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya terletak pada siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi tersebut. Regionalisme didorong oleh negara (state-led process) sedangkan regionalisasi didorong oleh aktor non negara (non-state-led process).
Ketika negara terlalu “sibuk” dengan berbagai urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan tidak terasa, maka inisiatif dari swasta (perusahaan), akademia, pers, lembaga sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi penting. Caranya dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk aktifitas, cakupan dan kedalaman program yang bisa dilakukan.
Aktifitas mendasar yang bisa mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan kepada khalayak di sekitar kita tentang hakekat MEA dan dampaknya. Institusi resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat dijadikan rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi standar atau dasar tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif.
Namun, kadang bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan kurang dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar sedangkan spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit menyampaikan pesan secara tepat. Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini.
Pertanyaann lainnya, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan Indonesia menghadapi MEA?
Pilpres
Saat ini bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden untuk masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama sembilan negara ASEAN akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menorehkan sejarah membawa Indonesia berkontribusi bahkan siap memimpin ASEAN.
Bil dipelajari dari visi misi dua capres, masih terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi yang secara spesifik membahas ASEAN. Dalam membedahnya dapat kita lihat dari hal. Pertama, platform kebijakan luar negeri mereka. Pasangan Jokowi-JK secara substansif relatif lebih detail dan jelas dibandingkan pasangan Prabowo-Hatta.
Pasangan Jokowi-JK menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang disegani. Mereka mendasarkan kebijakan luar negeri Indonesia sebagai negara maritim (archipelagic state).
Dari platform ini bisa diintepretasikan bahwa pasangan Jokowi-JK akan melakukan beberapa pembenahan tentang perbatasan, penguasaan pulau terluar tidak hanya dalam konteks keamanan (security) dalam arti konvensional. Namun, diprediksikan segala aktifitas termasuk ekonomi dan sosial dilakukan dalam konteks negara maritim. Misalnya, pemberantasan kejahatan transnasional terorganisir di perbatasan seperti illegal fishing, human traficking, people smuggling dll.
Sedangkan platform pasangan Prabowo-Hatta cenderung lebih umum. Mereka berpandangan kebijakan luar negeri bebas aktif tanpa memberikan penjelasan yang lebih detail tentang hal apa uang menjadi prioritas dan bagaimana mencapainya. Demikian agak sulit untuk dianalisis bila hanya mengedepankan platform yang dituliskan.
Kedua, kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor ideosenkretis presiden. Faktor ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat pada diri pribadi presiden. Contohnya, karakter, cara berpikir, kebiasaan, budaya, kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini serta sifat-sifat pribadi lainnya sebagai manusia.
Bila dibandingkan kedua capres memiliki perbedaan yang mendasar dilihat dari sisi yang diperlihatkan di depan publik dan sisi yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha memunculkan citra sebagai ‘macan Asia’ yang tegas, asertif disegani. Ia muncul sebagai antitesa atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih tenang, kalem, hati-hati, cenderung tidak decisive sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar belakang militer.
Sedangkan capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana dan berusaha menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat yang sebenarnya di tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang sempurna. Walau demikian, ia memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkrit dengan hasil yang jelas.
Dengan faktor ideosenkretis dari kedua capres tersebut, keduanya memiliki tantangan yang sama “memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan contoh-contoh kerja konkrit di dalam negeri akan semakin disegani di luar negeri. Bukan, kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam negara-negara lain di kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku “ASEAN Way” yang suka atau tidak masih tetap berlaku. [TNM/foto:istimewa-devianart]