“…we see diplomacy not as an instrument of an autonomous public actor (the state) but as an aggregate of public and private interests within the state” (Lee and Hudson, 2004)
Hingar bingar politik nasional telah dimulai. Tahapan pemilihan anggota legislatif (pileg) telah dimulai dan nantinya diikuti pemilihan presiden (pilpres) beberapa bulan kemudian. Kampanye terbuka, masa tenang, pemungutan suara, dan penetapan anggota legislatif terpilih. Belum lagi, bila ada pelanggaran selama pemilu sehingga menimbulkan sengketa dan perlu diselesaikan. Sungguh semua tahapan itu akan menghangatkan suhu politik nasional. Para calon anggota legislative (caleg) dan calon presiden (capres) dengan segenap partai politik pengusungnya pasti melakukan berbagai manuver untuk memenangkan calonnya. Masyarakat atau pemilih bak jejaka ganteng dan perawan cantik yang siap dirayu oleh para calon dan partai politiknya. Pesta demokrasi substansial Gambaran diatas merupakan sedikit imajinasi sebuah pesta demokrasi satu dekade pasca reformasi.
Tentu, pada pesta demokrasi tahun 2014 diharapkan akan menjadi pesta demokrasi yang substansial, bukan sekedar prosedural semata. Demokrasi di Indonesia bagi sebagian kalangan sudah menjadi elemen yang inheren dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Ada kekurangan disana-sini yang dapat dibereskan sembari terus bekerja, tetapi pada dasarnya elemen-elemen utama demokrasi telah mengemuka dengan variasinya masing-masing. Misalnya, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berekspresi di negeri ini hampir tidak ada batas. Setiap individu warga negara menyadari haknya tersebut dan telah menjalankannya. Sebagai contoh, kita bisa melihat di media massa seperti surat kabar, televisi, radio, laman-laman situs hingga media sosial. Dua hal terakhir ini memainkan peranan penting dalam menyebarkan pendapat seseorang hingga mendapatkan tanggapan langsung dari lainnya, baik positif, netral maupun negatif. Sebagian kalangan menilai demokratisasi di Indonesia hingga saat ini telah masuk dalam tahapan pendalaman (deepening) dan memasuki arah yang benar (on the right track). Memang belum serta merta menjadikan demokrasi sebagai satu-satunya aturan yang dilaksanakan dengan sempurna, tetapi tidak ada pihak yang tidak sepakat bahwa demokrasi itu penting di Indonesia sehingga konsolidasi demokrasi telah terjadi (i.e. Diamond, 2010). Selain itu karakteristik kehidupan demokrasi pasca reformasi antara lain dapat digambarkan dengan munculnya fragmentasi kekuasaan dan peningkatan peran opini publik dan masyarakat sipil (Anwar, 2010) dan pengambilan kebijakan menjadi lebih pluralistik dan kompetitif dibanding Orde Baru (Sukma, 2012).
Kehadiran teknologi yang semakin canggih pun dapat menjembatani aspirasi antara konstituen dan para wakilnya. Mereka bisa saling berdialog, bertukar ide bahkan tidak jarang masyarakat melakukan kontrol sosial yang kritis melalui media sosial (Mursitama & Pratama, 2014). Pemerintah tidak lagi bisa dalam posisi membungkam pihak tertentu dari memberikan informasi atas kejadian tertentu. Pilar legislatif dan yudikatif pun tak terkecuali mendapatkan perlakuan yang sama. Di sisi lain, media pun memiliki ideologinya sendiri. Dalam membeberkan suatu fakta, mereka melakukan intepretasinya sendiri. Dengan demikian, terjadi suatu overload informasi, tumpang tindih, kadang simpang siur yang membuat masyarakat harus semakin cerdas memilahnya.
Modalitas diplomasi
Kaitan kondisi domestik dan regional maupun internasional menjadi semakin penting akhir-akhir ini. Politik luar negeri bukan lagi semata-mata kepanjangan dari politik domestik dalam arti sempit, tetapi corak dan arah politik luar negeri sangat ditentukan oleh apa maunya politik domestik. Hal ini berlaku juga bagi Indonesia tanpa kecuali.
Dalam konteks ini, gelombang demokratisasi pasca reformasinya dengan demikian harus menjadi modalitas kebijakan luar negeri Indonesia. Walaupun memang politik domestik dapat menjadi pendorong sekaligus menghambat kebijakan luar negeri Indonesia (Sukma, 2012). Bahkan, reformasi Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak bisa dilepaskan dari gelombang demokratisasi di Indonesia (Nabbs-Keller, 2013). Dengan demikian, menjadi sangat penting dalam lima tahun ke depan Indonesia harus memanfaatkan perkembangan positif demokratisasi sebagai landasan dalam hubungan luar negeri, terutama di bidang ekonomi melalui diplomasi ekonomi Indonesia. Secara khusus bagaimana nilai-nilai demokrasi yang telah menunjukkan perkembangan ke arah yang benar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi bangsa Indonesia dalam setiap diplomasi (ekonomi) yang dilakukan. Kaitannya dengan kepemimpinan nasional lima tahun ke depan adalah figur pemimpin yang mampu membawa bangsa Indonesia memasuki tahapan krusial antara lain menghadapi Masyarakat ASEAN 2015. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia di ketiga pilar yang menyangganya yaitu pilar politikostrategis, ekonomi dan sosio-kultural.
Dalam kaitan dengan fokus tulisan ini maka hanya akan dibahas pilar ekonomi saja. Dengan demikian mengarah pada pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, kepemimpinan baru Indonesia yang terpilih nanti hendaknya memfokuskan kembali prioritas kebijakan luar negeri bidang ekonomi. Secara khusus memaknai kembali sektor-sektor prioritas di bidang perdagangan, perindustrian dan finansial yang kuat dan terpercaya didukung oleh tata kelola yang baik, benar dan profesional. Kebijakan luar negeri bidang ekonomi tersebut nanti dapat dilaksanakan melalui berbagai aras diplomasi ekonomi di berbagai tingkatan. Konsep diplomasi ekonomi dapat diartikan sebagai pengambilan keputusan dan negosiasi dalam hubungan ekonomi internasional (Bayne & Woolcock, 2007). Dengan pengertian yang luas ini, terdapat ruang untuk berinovasi lebih leluasa Posisi diplomasi ekonomi ini menjadi semakin penting untuk mendorong secara benar implementasi UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang melibatkan multi aktor di berbagai tingkatan dengan isu-isu yang semakin kompleks.
Dengan menguatnya desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah dan bermunculannya para pemimpin kabupaten/kota dan provinsi yang proaktif dan agresif melakukan terobosan dalam pembangunan daerahnya, semestinya diplomasi ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Diplomasi ekonomi tidak lagi menjadi domain pemerintah pusat atau pun negara, tetapi juga pemerintah daerah dan para aktor non negara lainnya. Seperti tercantum dalam kutipan di awal tulisan ini, diplomasi (ekonomi dalam hal ini) menjadi sebuah kerja bersama diantara semua aktor yang terlibat di berbagai lapisan di mana pun berada di wilayah nusantara.
Agenda ke depan
Di tengah tahun politik yang dinamis dan gelombang demokratisasi yang menjanjikan, agendaagenda politik luar negeri Indonesia tidak boleh terlupakan. Jangan sampai perkembangan internasional dan regional tertinggalkan dan modal positif domestik terpinggirkan sehingga untuk mencapai manfaat yang lebih banyak dari hubungan internasional yang dilakukan menjadi semakin sulit. Bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan fokus dalam politik luar negeri dengan tetap memastikan proses demokratisasi melalui pemilu yang berjalan dengan damai. Bagi para caleg dan capres harus mampu memberikan tawaran konkrit terhadap persoalan-persoalan internasional yang dihadapi Indonesia. Dengan surplus citra Indonesia di tingkat global namun mengalami defisit prestasi yang dirasakan di dalam negerinya sendiri, kepemimpinan baru perlu lebih menegaskan dan memilih agenda diplomasi prioritas sehingga ketimpangan ini tidak berlanjut. Untuk itu dalam konteks menyambut MEA 2015 beberapa agenda yang harus menjadi prioritas dapat dilihat dari tiga tataran. Pertama, tataran global. Kedua, tataran regional. Ketiga, tataran nasional-lokal.
Kemudian dari tiga tataran tersebut dapat dipilih isu-isu prioritas dengan tetap mempertahankan hal-hal positif yang telah dilakukan. Tentu agenda pembangunan sangat banyak dan semuanya penting. Namun, dalam lima tahun ke depan beberapa hal klasik harus terselesaikan dan kita harus berani memilih. Pertama, meneruskan reformasi kelembagaan dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Memperkuat lembaga yang terlibat dan meningkatkan koordinasi di dalamnya menjadi sangat penting bagi pengambilan kebijakan luar negeri. Hal ini bisa dimulai dengan identifikasi lembaga-lembaga yang selama ini memegang peranan penting dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan mencoba melibatkan para pihak yang kontribusinya semakin penting ke depan. Ide menyatukan kementerian yang terkait dengan kebijakan luar negeri perlu didiskusikan. Bila fokus kita ke depan adalah persoalan perdagangan dan industri, mengapa tidak menyatukannya ke dalam potfolio kementerian luar negeri.
Dengan persoalan yang makin kompleks tentu semakin tidak mudah dalam mengambil keputusan, benturan kepentingan dan prioritas pasti akan semakin kuat terjadi. Sebagai antisipasi diperlukan sebuah kelembagaan yang bisa mengkoordinasikan berbagai lembaga yang terlibat dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan memiliki akses langsung kepada presiden dan menjadi sumber terpercaya bagi presiden. Lembaga ini formal dan harus mampu mengatasi politik birokrasi yang rumit (beyond bureaucratic politics) sehingga bisa diisi oleh kalangan profesional termasuk akademisi. Kedua, fokus pada pengelolaan berbagai kerjasama perdagangan, industri dan finansial di kawasan. Kemudian, menyiapkan infrastruktunya di dalam negeri. Dengan kata lain, bila belum siap di dalam negeri, seberapa cepat kita melangkah (pace) dan elemen-elemen apa saja yang harus secara sukarela dikerjasamakan harus dipilih secara cerdas.
Saat ini kita menghadapi berbagai perjanjian bahkan sudah sampai tahap yang komprehensif tidak hanya sekedar perdagangan, investasi dan industri saja. Kita tidak boleh lagi memberikan cek kosong yang siap diisi oleh para pihak asing yang telah melihat dengan cerdas celah kelemahan kita dalam berdiplomasi.
Ketiga, penguatan dan percepatan pembangunan infrastruktur fisik dan non fisik di dalam negeri melalui berbagai skema yang telah dibuat saat ini, seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dengan fokus pada masterplan ini secara serius, menyatukan sumber daya dan energi untuk mengimplementasikannya, maka tren positif investasi yang masuk dan imbal positif dari master plan ini akan semakin terasa secara riil.
Akhirnya, para caleg maupun capres, harus mampu mengartikulasikan, mengedepankan solusisolusi konkrit terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi Indonesia dan mengantisipasi berbagai hal yang mungkin muncul beberapa tahun ke depan. Dari sisi masyarakat (sipil) juga harus lebih cerewet (demanding) dalam mengartikulasikan pemikirannya, kritiknya, pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan legislatif hingga keputusan sengketa yang diputuskan oleh yudikatif. Rasa keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat harus dikedepankan. Tanpa itu semua, modalitas domestik yang dihasilkan dari gelombang demokratisasi satu dekade pasca reformasi ini tidak akan bermakna lebih dalam lagi. Menjadi tugas kita untuk menciptakan orkestrasi kebijakan luar negeri yang indah dengan masing-masing aktor memainkan peran dan fungsi sesuai tugasnya. Bila itu bisa tercapai, harapan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia semakin memberikan manfaat bagi kehidupan domestik Indonesia akan tergapai dengan semakin terbuka. [Tirta N. Mursitama. PhD, Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara. Editor-in-chief Journal of ASEAN Studies (JAS) | foto:istimewa]