Sebuah perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 ASEAN baru saja usai. Layaknya sebuah pesta, hingar-bingarnya terdengar hanya di ruang-ruang pertemuan. Para pramusaji, pejabat senior kementerian dan jajarannya sibuk menghidangkan santapan sesuai selera para tamu.
Sudah barang tentu, mereka berusaha membuat semua tamu tetap tersenyum sepanjang pesta, jangan sampai ada yang kecewa. Yang terpenting bagi mereka adalah membuat para tamu pulang dengan kesan bahagia.
Dari luar, pesta itu terlihat sempurna. Sementara itu, para tetangga sang tuan rumah kena imbasnya. Mereka rela mengorbankan kesehariannya agar para tamu merasa nyaman. Lalu lintas dialihkan, kemacetan bertambah, kegiatan rutin di sekitar tempat pesta harus dipindah. Tetangga sang tuan rumah, yang notabene adalah rakyat Indonesia, lagi-lagi harus mengalah.
Jangankan mereka bisa menikmati hidangan dan suasana maraknya pesta, untuk memilih hidangan yang seharusnya merupakan urusan hajat hidup mereka pun tak bisa. Ternyata mereka tak kuasa.
Padahal, inilah momentum yang tepat memperjuangkan urusan perut hingga masa depan mereka. Pesta ini memang bukan untuk rakyat Indonesia, melainkan untuk pemerintah Indonesia. Ironisnya, entah kenapa, sampai saat ini sepertinya para elite pemerintahan berbicara kepentingan dan bahasa mereka sendiri.
Tidak ada keterkaitan antara kepentingan riil rakyat dan apa yang dilakukan pemerintahan. Alih-alih mencoba mengagregasikan kepentingan rakyat dan memperjuangkannya sebagai kepentingan nasional Indonesia.
Tuan rumah, pemerintah Indonesia seperti bermain lakon di panggungnya sendiri. Sepuluh butir kesepakatan dihasilkan. Tiga pernyataan bersama disepakati.Semua hasilnya seperti melukis di langit atau menabur garam di lautan. Mengawang-awang, banyak sekali yang tidak membumi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Indonesia.
Secara gagasan, KTT ASEAN membicarakan banyak isu penting. Para pemimpin ASEAN berusaha merespons perkembangan regional dan internasional yang dinamis. Mencoba memecahkan pula konflik bilateral yang sedang terjadi. Namun, yang terpenting bagaimana mendorong implementasi konkret dari serangkaian gagasan tersebut, mengawasi, mengevaluasi hingga merevisi pelaksanaannya bila ada yang salah.
Memilih Prioritas
Saat ini bukan untuk berwacana, melainkan justru kerja-kerja konkret yang terukur menjadi lebih relevan dan penting. Bagi Indonesia, dalam kepemimpinannya tahun ini seharusnya mampu memilih prioritas terpenting yang berimplikasi masif bagi kesejahteraan rakyat secara riil.
Isu-isu seperti perlindungan tenaga kerja, sengketa perbatasan dan pengelolaan perbatasan untuk kepentingan bersama, hingga penyelesaian ganjalan-ganjalan berkait perdagangan bebas kawasan.
Kita harus memilih prioritas. Waktu kita hanya satu tahun memegang tampuk kepemimpinan ASEAN. Menjadi krusial untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Lebih baik mewujudkan dua hingga tiga prioritas masalah yang konkret dan bermanfaat langsung bagi rakyat, daripada memiliki puluhan hal yang masih berupa wacana dan agenda. Hal ini bukan berarti tidak penting membicarakan wacana masa depan ASEAN pasca-2015.
Wacana menempatkan ASEAN di antara komunitas negara-negara di dunia adalah ide yang brilian.Tetapi sekali lagi, proporsi wacana jangka panjang yang masih menjadi impian bagi rakyat harus lebih sedikit dibandingkan pemecahan masalah konkret rakyat Indonesia.
Contoh prioritas yang bisa dikerjakan Indonesia adalah menyelesaikan persoalan tenaga kerja Indonesia dengan Malaysia. Penyelesaian harus menjamin tidak ada lagi perlakuan yang melanggar hak asasi manusia.
Selain dibuat aturan bagi kedua belah pihak, yang lebih penting law enforcement bagi para pelaku pelanggar aturan tersebut. Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN berkesempatan membuat inisiatif perlindungan tenaga kerja khususnya tenaga kerja Indonesia di negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura. Pengelolaan perbatasan antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga dapat dijadikan sebuah pilihan cerdas.
Peningkatan kerja sama ekonomi ketiga negara dalam rangka mengurangi atau memberantas praktik-praktik ilegal di bidang kehutanan, perikanan, dan kelautan akan menyelamatkan triliunan rupiah per tahun. Bahkan, menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Sementara di sektor perdagangan jangan sampai perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan China yang ternyata merugikan Indonesia dalam konteks ekonomi terjadi lagi.
Secara khusus kepiawaian Indonesia untuk melobi negara-negara ASEAN agar mendukung posisi Indonesia bila renegosiasi diperlukan, perlu diuji Beberapa contoh ini terlihat sederhana dan terlihat kurang seksi, tetapi sebenarnya konkret dan strategis.
Tentu prioritas bidang lain bisa digagas, salah satunya yang sudah dibicarakan adalah pangan dan energi. Namun sekali lagi, dua bidang ini tidak terlihat manfaat langsungnya bagi para petani ataupun pelaku bisnis Indonesia.
Kepemimpinan ASEAN ini sekaligus bisa menjadi turning point bagi Indonesia untuk kembali menengok ke dalam dirinya sendiri. Berkacalah bahwa betapa banyak persoalan dalam negeri yang perlu diselesaikan.
Hentikan berdalih dan membangun wacana regional dan internasional demi citra Indonesia yang glamor, gorgeous, dan heroic. Bila semua citra tersebut tidak termanifestasi dalam kinerja domestik yang excellent, berarti kemampuan kepemimpinan Indonesia patut dipertanyakan.
Masih ada waktu beberapa bulan ke depan. Kita belum terlambat. Kini saatnya untuk menyadari itu. Mari ciptakan pesta untuk rakyat, dirasakan oleh rakyat, dilakukan untuk rakyat. Bukan perhelatan yang megah tapi menyisakan setumpuk pekerjaan rumah ketika pesta itu usai.
TIRTA N MURSITAMA, PHD
Direktur Eksekutif Center for East Asian
Cooperation Studies (CEACOS) Universitas Indonesia
Artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Rabu 11 Mei 2011