Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meluncurkan serangkaian program pemulihan ekonomi yang dikenal dengan Abenomics sejak terpilih pada akhir tahun lalu. Abenomics pada dasarnya terdiri dari tiga pilar yaitu stimulus fiskal, mengurangi persoalan moneter, dan strategi pertumbuhan. Setelah sekitar satu tahun berjalan bagaimana kita mencermati Abenomics dari sisi ekonomi politik Internasional?
Driver Pemulihan
Jepang telah mengalami kondisi perekonomian yang buruk berkepanjangan lebih dari dua dekade. Ditambah lagi tiga bencana yang menimpanya secara bersamaan (treble dissaster) menjadikan Jepang semakin merasakan keterpurukan secara sosial dan ekonomi.
Di tengah situasi serba tidak menentu seperti itu masyarakat Jepang membutuhkan harapan untuk bisa bangkit dan maju. Kemenangan Shinzo Abe menjadi PM Jepang menjadi tonggak awal pemulihan kondisi tersebut. Dengan Abenomics yang ia canangkan selama kampanye, memberikan asa baru bagi masyarakat walaupun tak sedikit kalangan yang skeptis dengan pemikiran Abe tersebut.
Sekitar satu tahun berlalu Abenomics dilaksanakan, kontroversi tidak berhenti pada substansi. Pertama kalinya awal bulan ini perekonomian Jepang mengalami penurunan pertumbuhan menjadi 2,6% dari 3,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah sempat memberikan harapan di masa bulan madu pemerintahan Abe, para pengkritik Abenomics mulai kembali menemukan amunisi mengecam kebijakan Abe.
Sebagai sebuah driver pemulihan, Abenomics harus dilihat dalam konteks upaya keluar dari krisis. Alternatif pemikiran ini memberikan satu arah yang pasti kemana Jepang harus melangkah maju. Dengan demikian, dalam jangka pendek penilaian para pengkritik Abe bahwa Abenomics dipertanyakan keberhasilannya, masih terlalu dini.
Kemenangan telak Partai Demokratik Liberal (LDP) dalam pemilihan anggota majelis tinggi bulan lalu dapat menjadi fakta menarik. Kemenangan ini menguatkan dukungan riil rakyat terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Abe ditengah kritikan atas konsep itu sendiri. Disamping itu, semakin memperkuat posisi pemerintahan Abe karena LDP menguasai majelis rendah dan majelis tinggi sehingga konsistensi dan kontinuitas kebijakan pemerintah lebih terjaga. Jadi, sebagai driver pemulihan, Abenomics sejauh ini telah membuktikan kemampuannya dalam hal dampak sementara secara ekonomi maupun mendapat dukungan politik rakyat.
Perlu sepenuhnya disadari bahwa Abenomics bukan panacea yang bisa menjadi obat mujarab membangkitkan kembali kedigdayaan Jepang. Selain itu, perlu waktu yang lebih panjang implementasi kebijakan tersebut sehingga layah dinilai secara lebih komprehensif.
Satu hal penting untuk melanjutkan perkembangan Abenomics terletak pada bagaimana dan sebesar apa belanja pemerintah dalam proyek infrastruktur vital dan penting bisa konkrit dilakukan. Belanja pemerintah ini bisa difokuskan pada pemulihan daerah-daerah yang tertimpa bencana tsunami dan kebocoran reaktor nuklir fukushima daiichi yang dampak kebocorannya naik ke level tiga belakangan ini sehingga makin mengkhawatirkan.
Hal lain yang masih harus mendapat perhatian adalah persoalan pajak konsumsi yang direncakan kenaikannya 5%-8% hingga 10% tahun 2015. Masyarakat Jepang berharap pajak konsumsi tidak terlalu tinggi atau tidak dinaikkan secara drastis untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat.
Tak dapat dinafikan, selain faktor domestik yang berkontribusi bagi pemulihan kondisi ekonomi, situasi global juga memegang peranan penting. Perekonomian ekonomi global dan kondisi ekonomi negara-negara besar di kawasan Eropa dan Amerika Utara juga masih berjuang mengatasi ekonomi domestik mereka yang melambat pertumbuhan ekonominya. Kenyataan ini sedikit banyak mempengaruhi perlambatan pemulihan kondisi ekonomi Jepang.
Langkah ke Depan
Dalam era interdependensi antar pelaku ekonomi dan politik di berbagai belahan dunia sekarang ini, hampir mustahil prestasi kinerja ekonomi suatu negara hanya ditentukan oleh mereka sendiri. Bagi Jepang beberapa hal penting yaitu, pertama, memastikan implementasi Abenomics menghasilkan perkembangan yang positif dalam beberapa waktu ke depan dengan semakin memperluas dukungan politik rakyat.
Kedua, melakukan langkah asertif diplomasi ekonomi dengan mengombinasikan antara partisipasi dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Walau pilihan keikutsertaan dalam TPP ini bukannya tidak mendapat tentangan dari masyarakat khususnya menyangkut isu pertanian. Ketiga, mensinergikan dukungan sektor swasta terutama perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan ekspansi sehingga semakin penting kedudukannya sebagai salah satu engine of economic growth.
Bagi Indonesia, kemampuan mengapitalisasi hubungan jangka panjang yang telah terjalin dengan Jepang secara lebih substantif menjadi sangat strategis. Di satu sisi, Indonesia dapat membantu Jepang bangkit dengan memperoleh manfaat konkrit secara lebih banyak dalam proses ini. Indonesia dan Jepang dapat tumbuh bersama.
Caranya, dengan menagih kontribusi Jepang atas proyek-proyek infrastruktur vital yang dibutuhkan Indonesia. Meminta Jepang untuk meningkatkan investasi yang berbasis penguatan kapabilitas teknologi Indonesia misalnya di sektor manufaktur. Jepang selama ini sebenarnya telah cukup besar membantu Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan jangka pendek hingga panjang untuk mendapatkan gelar (degree) maupun tanpa gelar (non degree) bagi para birokrat, masyarakat sipil maupun teknokrat kampus dalam bentuk bantuan teknis maupun hibah (grant).
Mereka ini lah yang perlu mendapatkan perhatian lebih sekembalinya menuntut ilmu dan teknologi dari Jepang sehingga dapat dipantau, dievaluasi dan dijadikan katalisator perubahan dalam konteks hubungan Jepang dan Indonesia era baru.
Selain itu, pemerintah Indonesia dan pihak swasta harus berani membelanjakan dana yang substantif untuk perebutan dan pengalihan teknologi secara lebih sistematis. Baik dalam bentuk research and development (R&D) yang didukung negara maupun melalui investasi berbasis teknologi perusahaan-perusahaan Jepang seperti yang selama ini mereka janjikan. Melalui para alumni Jepang dua dekade terakhir lah harapan terhadap perubahan subtansial hubungan Jepang dan Indonesia dapat terjadi. [Tirta N. Mursitama, PhD, Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara | foto:istimewa]