Dua peristiwa penting terjadi hampir bersamaan di dua ranah yang berbeda belakangan ini. Di tataran domestik, prosesi pemilihan umum (pemilu) telah bergulir. Diantaranya, ditandai dengan penyampaian Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif. Kurang dari satu tahun dari sekarang pemilu akan diselenggarakan. Tahun 2014 akan penuh dengan hingar bingar politik domestik.
Di tataran regional, KTT ASEAN ke-22 telah berlangsung di Brunei Darussalam. Para kepala negara ASEAN menegaskan keoptimisan untuk maju terus menuju Masyarakat ASEAN 2015. Bahkan untuk agenda lain, seperti APEC dan G-20, Indonesia mendapatkan dukungan penuh dalam kapasitasnya menjadi chairman APEC tahun 2013. Demikian halnya dengan posisi Indonesia di G-20 yang didukung penuh oleh para anggota ASEAN. Bahkan, ASEAN telah mulai mendiskusikan pembangunan pasca Masyarakat ASEAN 2015.
Pendeknya, pada waktu yang hampir bersamaan dinamika politik damestik dan regional berkelindan begitu kuat. Satu sama lain saling berkait dan mempengaruhi. Dinamika politik domestik akan semakin memanas dari sekarang. Akankah kita terbuai dengan politik domestik sementara agenda regional maupun global terus bergulir? Bagaimana nasib Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ketika disibukkan dengan agenda domestik? Akankah kita punya cukup energi dan ketahanan untuk menyelesaikan kedua-duanya?
Keniscahyaan
Regionalisme ekonomi kawasan Asia Tenggara sepertinya menjadi fenomena tak terelakkan. Artinya, suka atau tidak, siap atau tidak MEA 2015 akan bergulir secara resmi 1 Januari 2016. Setelah mengalami penundaan pelaksanaan sekitar satu tahun, para pemimpin negara ASEAN sepakat dan tetap yakin melanjutnya momentum ini ke tahapan yang lebih tinggi.
Sementara perdebatan tentang kesiapan Indonesia menghadapinya terus berkumandang dimana-mana, tapi tidak ada langkah konkrit dari partai politik (parpol) menyangkut hal ini. Padahal, siapa pun partai pemenang pemilu akan berhadapan dengan tantangan MEA 2015.
Paling tidak ada dua pandangan yang beredar di masyarakat berkait MEA 2015. Pertama, menerima MEA sebagai sebuah keniscahyaan yang tak bisa dihindari terlepas dari kesiapan Indonesia. Bagi yang percaya pada pandangan ini, penguatan daya saing dengan perbaikan tata kelola, penguatan kapasitas dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu menjadi mantra kunci. Sembari, melakukan perbaikan domestik termasuk meminimalisir kerugiaan yang terjadi dari terintegrasinya ekonomi domestik dengan ekonomi regional dan global.
Pandangan kedua menyatakan bahwa Indonesia harus mandiri tidak tergantung dengan dunia luar. Bahkan, tidak perlu terintegrasi dengan dunia global. Pemikiran ini dapat dikategorikan lebih isolasionis. Fokusnya pada pemberdayaan sumber daya alam maupun manusia negeri sendiri dengan pemanfaatan sebesar-besarnya utamanya untuk rakyat Indonesia. Secara ekstrem dalam konteks MEA, keikutsertaan dalam proses ini harus dipertimbangkan dam bila perlu melakukan langkah-langkah yang lebih nasionalistik.
Dari dua pandangan yang berseberangan tersebut muncul konsekuensi yang berbeda. Ironisnya, apapun pandangan yang dianut, tak ada partai politik yang secara jelas memikirkannya apalagi mewujudkan dalam kerja-kerja konkrit. Lebih lagi menghadapi pemilu yang konsentrasinya masih pada perebutan kursi legislatif dengan berbagai cara.
Agenda Nasional
Kekhawatiran bahwa hiruk-pikuk di tahun politik sehingga mengesampingkan agenda penting MEA 2015, sangat bisa dipahami. Pasti parpol akan lebih mementingkan bagaimana merebut atau mempertahankan kekuasaan. Akibatnya, mereka akan mengesampingkan prioritas lain termasuk MEA 2015.
Bila demikian adanya, sudah dapat dipastikan Indonesia makin tertinggal dalam persaingan MEA 2015. Hal ini harus diantisipasi. Menghadapi kekhawatiran bahwa masa depan MEA 2015 bagi Indonesia akan menjadi tidak jelas maka harus menjadikan MEA 2015 sebagai agenda nasional semua parpol. Siapa pun yang menang, komitmen melanjutkan proses MEA 2015 harus dikedepankan.
Memang menjadikannya sebagai agenda nasional bagi setiap parpol tidak akan menjamin Indonesia melenggang mulus dalam menghadapi MEA 2015. Namun paling tidak mengingatkan bahwa persoalan domestik tidak bisa lagi dilepaskan dari dinamika regional. Lalai merespon secara cerdas perkembangan regional berarti mengorbankan pula kemajuan domestik. Keduanya tak terpisahkan.
Keuntungan lainnya adalah dalam kerangka pemantapan kehidupan demokrasi yang lebih substansial, mendorong ide-ide ke dalam platform politik partai menjadi sebuah keharusan. Parpol yang tanggap terhadap dinamika regional dalam konteks MEA 2015 dan memasukkannya dalam platform politiknya dan berkomitmen memberikan yang terbaik bagi rakyat Indonesia berarti juga memberikan sinyal kepada para konstituen bahwa mereka responsif bahkan proaktif terhadap perkembangan regional.
Secara internal kepartaian, memasukkan agenda MEA 2015 berarti, semestinya, menguatkan konsolidasi partai. Parpol membutuhkan kader-kader yang paham MEA dan bagaimana merumuskan strategi dan menerapkannya dalam kebijakan yang memihak Indonesia. Hal ini berarti akan mempengaruhi proses rekrutmen kader. Dengan demikian, bila satu parpol memenangkan pemilu, mereka sudah siap menempatkan kader yang tepat pada portofolio kementerian yang sesuai termasuk dalam pembuatan perundangan.
Di sisi lain, hal ini akan berkontribusi sebagai bagian dari upaya pencerdasan kehidupan politik rakyat Indonesia. Rakyat dituntut untuk dapat memilih secara rasional parpol yang benar-benar menaruh perhatian kepada masa depan hidup mereka.
Namun, gagasan ini pada akhirnya melahirkan pertanyaan penting: seberapa cerdas parpol mau menjadikan MEA 2015 sebagai bagian dari platform politik mereka dan seberapa cerdas pula rakyat akan memilih parpol yang memasukkannya dalam agenda politik mereka. Jawabannya akan sedikit banyak menentukan tingkat kematangan kehidupan demokrasi kita ke depan, dan juga masa depan kita dan generasi penerus bangsa. [Tirta N. Mursitama, PhD, Editor in Chief, Journal of ASEAN Studies, Ketua Departemen Hubungan Internasional Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara | foto:istimewa]