Mau Dibawa Kemana Perguruan Tinggi (BHMN) Kita?

by admin

Bagi dunia pendidikan, baca: perguruan tinggi, tahun 2010 penuh dengan ketidakjelasan arah dan tujuan. Langkah inovasi menjadikan tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) telah mati muda.

Sebagai PT BHMN, ketujuh PTN tersebut telah dicabut samurainya. Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi setelah memenuhi tuntutan judicial review dari kalangan masyarakat sipil dan sebagian penggiat pendidikan di Indonesia akhir Maret 2010 lalu.

Ketidakjelasan

Pasca Pencabutan UU BHP, masih terjadi polemik atas status hukum PT BHMN: ada yang menyatakan jalan terus, masuk masa transisi, hingga pendapat yang menyatakan PT BHMN tidak ada status hukumnya. Semua menjadi simpang siur dengan pemahaman masing-masing.

Ketidakjelasan status hukum itu memperumit tataran operasional penyelenggaraan pendidikan di lapangan. Misalnya, soal penerimaan mahasiswa baru, biaya pendidikan termasuk pengelolaan keuangan, hingga status hukum dosen dan tenaga pendidikan PT BHMN. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya yang paling dirugikan adalah mahasiswa, calon mahasiswa dan orang tua mahasiswa.

Contoh nyata telah terjadi di depan mata yakni polemik soal penyelenggaraan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Ada sejumlah PTN yang merupakan (mantan) PT BHMN berniat menyelenggarakan ujian mandiri sebelum ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2011. Ironisnya, Kemendiknas pun tak berdaya karena hanya dapat memberikan teguran tidak bisa (mau) memberikan sanksi.

Peristiwa itu terjadi bahkan jauh setelah terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada akhir September 2010. Bisa dibayangkan persoalan operasional lain seperti status hukum para dosen maupun tenaga kependidikan dan tata cara pengelolaan keuangan di PT BHMN masih belum jelas.

Tatakelola

Dengan terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 paling tidak memberikan sedikit ruang kejelasan status hukum kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan mantan PT BHMN. Berdasarkan Pasal 220A ayat (3), pemerintah mengatur adanya pengalihan status dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai BHMN menurut peraturan perundang-undangan.

Secara logika dengan dicabutnya UU BHP dan terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010, maka PT BHMN kembali menjadi PTN. Dengan demikian, status kepegawaiannya pun seharusnya dialihkan (kembali) ke pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, PP ini berkonsekuensi pengelolaan keuangan perguruan tinggi diberlakukan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau sebagai Badan Layanan Umum (BLU).

Masalahnya tidak selesai disini. Pengalihan status kepegawaian terhadang masalah teknis seperti bagaimana melakukannya langkah demi langkah sehingga tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan pemerataan. Pengalihan ini tidak bisa dilakukan dengan kebijakan pukul rata. Melainkan, harus dilakukan secara sistematis dengan memperhatikan kondisi spesifik masing-masing PT BHMN.

Pada tanggal 10 Desember 2010 lalu, Paguyuban Dosen Non-PNS Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) berinisiatif menyelenggarakan Sarasehan Hukum Pengalihan Status Kepegawaian Dosen dan Tenaga Pendidikan Non-PNS pada PT BHMN. Mereka menghasilkan naskah akademik, rancangan peraturan pemerintah tentang pengalihan status tersebut hingga petisi dari para dosen dan tenaga kependidikan Non-PNS di UI.

Sarasehan tersebut merupakan langkah strategis dalam rangka memperjuangkan nasib para dosen dan tenaga kependidikan non-PNS yang secara nyata menjadi tulang punggung kegiatan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat PT BHMN, khususnya di UI. Mereka sekaligus mendorong para pemangku kepentingan pendidikan tinggi untuk mengambil kebijakan kongkret tentang hal ini.

Inisiasi ini terus membesar meliputi berbagai fakultas. Dialog dengan para pemangku kepentingan dan tukar pengalaman dengan berbagai PT BHMN yang bernasib sama terus dilakukan. Bahkan usaha pendekatan ke pengambil kebijakan dalam hal ini Kemendiknas pun telah dilakukan.

Soal tatakelola keuangan pun, yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan utama pencabutan UU BHP, perlu pembenahan. Dengan status PT BHMN, ketujuh perguruan tinggi harus diakui menunjukkan prestasi yang lebih baik. Hal ini didukung oleh pengelolaan keuangan yang otonom dan transparan. Insentif penelitian dan sistem remunerasi dosen yang baik.

Namun di sisi lain, pengelolaan keuangan memang masih perlu ditingkatkan. Di sebagian PT BHMN yang menerapkan tatakelola keuangan secara terintegrasi perlu dilaksanakan secara lebih berkeadilan memperhatikan kontribusi fakultas/program dengan tetap mempertimbangkan kepentingan universitas secara menyeluruh. Kemudahan dan kecepatan pencairan dana, pertanggungjawaban penggunaan dana merupakan bagian dari aspek-aspek tatakelola yang masih harus diperbaiki. Selain itu, transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban juga tidak boleh ditinggalkan.

Apabila beberapa hal ini dapat dilakukan, pasca PP Nomor 66 Tahun 2010 mungkin tidak akan menciptakan mimpi buruk baru bagi dunia pendidikan tinggi kita. Pertanyaannya kemudian adalah maukah pemerintah melakukannya, proaktifkah PT BHMN mendorong perubahan ini, akankah anggota Dewan yang terhormat satu visi tentang ini? Ataukah para dosen harus turun ke jalan untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri? Bila hal terakhir ini terjadi, sungguh menambahkan daftar panjang mimpi buruk inkonsistensi kebijakan pendidikan tinggi di negeri ini.

Jadi, “mau dibawa kemana perguruan tinggi (bhmn) kita?”. Bahkan, rekan-rekan staf non-pns di salah satu universitas terkemuka di ibukota pun telah menggubahnya menjadi: “mau dibawa kemana hubungan kerja kita?” (diinspirasi dari sebuah judul lagu terkenal band Armada).

 

 

 

 

You may also like

Leave a Comment