Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Jepang yang telah mesra selama sedikitnya lima dekade kini diuji. Bahkan bukan tidak mungkin, relasi RI dengan Paman Sam dan Samurai Biru sedang di persimpangan.
Sejak rezim Orde Baru, Indonesia dikenal dan sering bermain sebagai ‘mitra strategis’ AS. Lebih-lebih setelah Soeharto dengan jelas menunjukkan keengganan untuk menjalin hubungan serius dengan Uni Soviet selama Perang Dingin yang kemudian berakhir 1989-1990.
Pilihan ini kemudian dilanjutkan hingga era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Alumnus Fort Benning dan United States Army Command and General Staff College (USACGSC) yang lebih sering disebut dengan nama panggilan SBY ini berhasil menancapkan namanya sebagai Presiden terlama selama era Reformasi, salah satunya dengan meneguhkan hubungan baik dengan ‘blok’ yang dipimpin oleh AS.
Fort Benning dikenal sebagai ‘rumah para infantri’, sebutan yang melekat pada pangkalan yang berada di Alabama dan Georgia karena banyak melahirkan tentara unggulan di AS dan negara-negara sekutu. SBY menempuh pendidikan dan pelatihan di tempat ini pada 1975.
Adapun, USACGSC merupakan sekolah internasional bagi perwira menengah dan tinggi militer yang fokus di bidang kerja sama antar-agensi dan operasi militer multinasional.
Kedekatan antara Indonesia dan AS tetap terjaga sekalipun Paman Sam beralih kepemimpinan dari Republikan (George W. Bush) kepada Demokrat (Barack Obama) pada 2009. Obama tercatat mengunjungi Indonesia pertama kali pada November 2010.
Namun, sejak Jokowi dan Jusuf Kalla memenangkan Pemilihan Presiden 2014, terjadi pergeseran — dan barangkali evaluasi — terhadap hubungan tersebut. Diiringi munculnya China sebagai kekuatan baru yang terus berupaya menggeser dominasi AS dan Jepang dalam konfigurasi ekonomi politik dunia, RI kini punya opsi untuk mengubah cara pandang.
Meski demikian, seperti lazimnya pengelolaan hubungan antar-negara, administrasi Presiden Joko Widodo memang tidak secara eksplisit dan vulgar mendekat ke China. Namun, analis membaca tendensi-tendensi tersebut mulai kerap dan terangkat ke permukaan.
Tirta N. Mursitama, Guru Besar Bisnis Internasional Universitas Binus dan Presdir Kenta Institute, mengungkapkan Jokowi secara perlahan memberikan sinyal ke arah hubungan yang lebih dekat dengan China.
Pertama, dari sisi pandangan Poros Maritim Dunia (PMD) yang pada intinya Indonesia harus menjadi pusat dalam tata kelola dunia berbasis maritim. Konsep ini mengubah cara pandang politik luar negeri kita dengan menekankan pada bangsa maritim. “Dengan demikian pilihan kebijakan luar negeri yang diambil pun tentu mencerminkan pandangan tersebut,” tuturnya kepada Bisnis di Jakarta.
Dia menjabarkan, konsep PMD memiliki irisan dengan pemikiran China tentang One Belt One Road (OBOR).
Ketiga, China tumbuh sebagai kekuatan ekonomi terkuat kedua di dunia, walaupun saat ini sedang
mengalami pelambatan.
Tirta mengemukakan secara geopolitik pilihan ini memang tidak biasa, atau dapat diartikan berbeda dengan pemerintah terdahulu yang lebih condong kepada AS dan Jepang. Sehingga, kesan awal yang diterima publik adalah kurang menguntungkan.
“Menurut saya, kalkulasi pemerintah sekarang lebih tegas, yakni untuk mendapatkan keuntungan optimal dengan mendekat ke China,” lanjut Tirta.
Tidak Gegabah
Agaknya, pemerintah RI juga masih berhitung tentang opsi-opsi yang tersedia ini. Kunjungan Presiden Jokowi ke Gedung Putih pada Oktober 2015, yang diakhiri dengan komitmen investasi AS senilai US$2,4 miliar dan pernyataan terbuka pucuk pimpinan Indonesia tentang ketertarikan masuk Trans-Pacific Partnership (TPP), membuktikan RI tidak gegabah.
Secara genealogis, meski dimasudkan untuk memperkuat hubungan dagang secara multilateral, sejumlah literatur menyebutkan jika TPP yang disponsori AS dan Jepang juga ditujukan untuk menangkal pengaruh China di bentang Pasifik (Pacific Rim).
Di sisi lain, langkah pemerintah RI bisa juga dinilai sebagai bentuk ‘pelajaran’ untuk Negeri Samurai. Tirta mencontohkan kasus kereta cepat, yang akhirnya dimenangkan oleh konsorsium China, menjadi manifestasi ketidakpuasan dari pihak RI.
Tirta menilai Jepang perlu menemukan ‘jurus baru’ dalam melakukan diplomasi bisnis dengan Indonesia. Sementara itu, Tirta menilai hingga kini AS masih belum memutuskan untuk ‘turun ke arena’ dan terlibat langsung dalam ‘perselisihan’ antara Jepang dan China.
Dradjad Wibowo, Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) Badan Intelijen Negara (BIN), berpandangan sebaliknya. Dia mengingatkan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam memutuskan koalisi terdekat RI.
Dia menuturkan fakta-fakta yang terpapar kini menunjukkan pemerintah perlu sangat waspada dalam memutuskan siapa teman terdekat. Dia memaparkan, dalam situasi ketika ekonominya masih kokoh alias tumbuh di atas 10% per tahun, realisasi investasi China hanya 30%-40% dari komitmen.
“Apalagi ketika kondisi sekarang, China butuh dana sendiri untuk menopang yuan dan pasar modalnya. Realisasi investasi China masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia menekankan, tendensi-tendensi pemerintah yang mulai bergerak dari aliansi AS dan Jepang menuju China sudah ditangkap oleh komunitas internasional. Menurutnya, kesan yang didapatkan oleh publik internasional ini sangat krusial.
“Dari kontak-kontak saya, baik di bidang ekonomi, pebisnis, diplomat maupun di masyarakat keamanan, AS mempunyai kesan kalau RI seolah-olah sedang meninggalkan AS. Sehingga, AS mulai sangsi apakah RI masih bisa dianggap sebagai teman loyal. Ini kurang bagus,” tuturnya.
Mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menambahkan, sejumlah pemilik kepentingan di Jepang dan AS berulangkali mempertanyakan keputusan RI untuk cenderung ke China.
“Mereka bertanya, apakah betul RI akan meninggalkan AS dan Jepang dan pindah ke China? Apakah RI benar-benar sudah menghitung jika berpindah aliansi? Begitu kata mereka,” kata Dradjad.
Namun demikian, dia berargumen jika Indonesia memang harus menjaga hubungan baik dengan semua negara besar. Menurutnya, dalam konteks hubungan ekonomi global yang kian terintegrasi, hanya tergantung pada satu atau sekelompok kecil negara akan memberi risiko besar di kemudian hari.
Pasalnya, setiap negara besar juga memiliki risiko perlambatan ekonomi, yang pada gilirannya akan memukul baik sisi ekspor maupun investasi Indonesia. Menurutnya, pasar yang lebih terdiversifikasi akan membuat ekonomi RI lebih tahan banting.
“Jangan lupa kalau China saat ini sedang drop. Maka untuk mengompensasi ekspor, Indonesia harus kirim ke AS, karena AS sedang membaik. Begitu juga dengan Uni Eropa yang sudah mulai stabil. Jadi risiko ini harus benar-benar dipikirkan,” lanjutnya.
Tirta menggambarkan inisiatif China untuk membentuk Asian Infrastruktur Investment Bank (AIIB) memang menjadi magnet tersendiri dalam pembentukan lanskap ekonomi alternatif, khususnya untuk pembiayaan infrastruktur.
Arah pengelolaan ekonomi dan politik internasional era pemerintahan ini memang belum terang benar. Akan tetapi, aspek kehati-hatian wajib menjadi kunci dan diiringi dengan menegakkan kepentingan nasional.
Pada masa mendatang, apabila benar kerja sama dengan China terus membesar, Tirta menyebutkan Indonesia perlu lebih cermat dalam menyetujui klausul-klausul kontrak dan perjanjian. Menurutnya, ada tiga poin kunci yang masuk dalam kategori krusial.
“Jangan sampai ada klausul yang merugikan tenaga kerja Indonesia, menimbulkan masalah lingkungan dan persaingan yang tidak sehat ketika di sisi lain Indonesia butuh investasi,” katanya. () [bisnis.com | foto:istimewa]